RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ..... TAHUN ..... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA
Menimbang:
a. bahwa guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus terpelihara serta berjalan dengan aman dan tertib; b. bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan negara untuk tetap tegaknya kedaulatan negara, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat timbul berbagai ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dengan intensitas yang tinggi, sehingga diperlukan penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara dengan penindakan secara dini, cepat, tepat, terpadu, tuntas dan aman serta profesional; c. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum, oleh karena itu penyelenggaraan keselamatan negara sebagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keselematan dan keamanan negara yang pada hakikatnya merupakan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan rakyat dan negara serta menjadi tanggungjawab seluruh rakyat Indonesia, harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan kecenderungan hukum internasional. d. bahwa Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keamanan negara baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan bahaya, oleh karena itu berhak mengambil segala tindakan untuk menyelamatkan dan mengamankan negara; e. bahwa Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan bahaya dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1960 tentang Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer yang selama ini menjadi dasar hukum penanggulangan ancaman pertahanan keamanan negara sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan ketatanegaraan, sehingga harus dicabut dan diganti; f. bahwa dengan dicabutnya Undang-undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang pemberantasan kegiatan Subversi, diperlukan pengaturan untuk mencegah dan mengatasi kegiatan-kegiatan yang bersifat subversif secara dini, cepat, tepat, terpadu, tuntas dan aman serta profesional; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, dan f perlu dibentuk Undang-undang tentang Keselamatan dan Keamanan Negara;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 12, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 30 Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Keselamatan negara adalah keadaan kehidupan negara yang terhindar dari segala bentuk ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang membahayakan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga fungsi pemerintahan, kehidupan perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya. 2. Keamanan negara adalah keadaan kehidupan negara yang mampu menjamin tetap tegaknya Negara Kesatuan republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945 terhadap segala ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dan tercapainya tujuan nasional. 3. Ancaman adalah usaha yang dilaksanakan secara konsepsional melalui kegiatan atau kejahatan politik, ekonomi, sosial, maupun budaya yang membahayakan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4. Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara adalah bagian dari upaya pertahanan keamanan negara yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara yang dilakukan melalui kegiatan pencegahan dan penanggulangan terhadap setiap ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri secara dini, cepat, tepat, terpadu, tuntas, dan aman serta profesional yang ditujukan terpeliharanya kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, dan terjaminnya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5. Panglima adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia. 6. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi yang karena jabatannya merangkap pula sebagai Kepala Daerah Administrasi.
Pasal 2
Tujuan penyelenggaraan keselamatan keamanan negara adalah melindungi keselamatan dan keamanan rakyat dan negara dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan buaya terhadap ancaman dari dalam negeri dan dari luar negeri.
Pasal 3
Hakikat keselamatan dan keamanan negara adalah tetap tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta terjaminnya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 4
Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara berlandaskan pada: a. asas kepastian hukum ; b. asas pengayoman ; c. asas keterpaduan ; d. asas proporsionalitas ; e. asas kerterbukaan ; f. asas profesionalitas
BAB II PENYELENGGARAAN KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA Pasal 5
Presiden mempunyai wewenang tertinggi dalam penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara.
Pasal 6
Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan setiap ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri secara dini, cepat, tepat, terpadu, tuntas, aman, dan profesional sesiai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara dilakukan di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan bahaya.
BAB III PENYELENGGARAAN KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA DALAM KEADAAN BIASA Pasal 8
(1) Dalam keadaan keselamatan dan keamanan negara terancam dan penanganan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan unsur-unsur perkuatannya dinilai tidak memadai atau tidak segera dapat mengatasinya, Presiden menyatakan perlunya penanganan secara khusus di sebagian atau di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Keadaan keselamatan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan oleh Gubernur kepada Presiden tentang terjadinya kerusuhan antar suku, agama, ras, atau antar golongan atau kerusuhan lainnya yang disertai dengan tindak kekerasan yang berakibat : a. pelaksanaan fungsi Pemerintahan di sebagian atau di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya ; dan atau b. kegiatan kehidupan perekonomian dan kehidupa sosial masyarakat terganggu. (3) Pernyataan penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan Presiden setelah mendengar dan memperhatikan pendapat dari Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dan Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum. (4) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 9
(1) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila diperlukan dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 10
(1) Dalam rangka melaksanakan penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (10), atas perintah Presiden, Panglima dapat menggunakan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan melakukan tindakan, berupa : a. pelarangan sementara seseorang memasuki atau meninggalkan suatu wilayah tertentu ; b. penempatan sementara seseorang di luar wilayah tempat tinggalnya ; c. pembatasan dan atau penutupan wilayah ; d. membatasi orang berada di luar rumah. (2) Dalam melaksanakan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Panglima berkoordinasi dengan pimpinan instansi dan atau lembaga pemerintah terkait. (3) Tindakan Panglima sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) dapat didelegasikan kepada Panglima Daerah Militer. (4) Dalam melaksanakan tugasnya Penglima Daerah Militer dibantu oleh Kepala Kepolisian Daerah dan Kepala Kejaksaan Tinggi.
Pasal 11
Pelarangan sementara seseorang memasuki atau meninggalkan suatu wilayah tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) huruf a, hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang menurut bukti permulaan yang cukup, patut diduga melakukan perbuatan yang dapat mengganggu, menghalangi, atau menghambat upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap ancaman yang membahayakan keselamatan dan keamanan negara.
Pasal 12
Penempatan sementara seseorang di luar wilayah tempat tinggalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, dilakukan untuk melindungi keselamatan dan keamanan warga dan menanggulangi ancaman yang membahayakan keselamatan dan keamanan negara.
Pasal 13
Pembatasan dan atau penutupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c dan pembatasan orang berada di luar rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 91) huruf d, hanya dapat dilakukan terhadap wilayah yang menjadi tempat kegiatan pencegahan dan penanggulangan terhadap ancaman yang membahayakan keselamatan dan keamanan negara.
Pasal 14
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV PENYELENGGARAAN KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA DALAM KEADAAN BAHAYA Bagian Kesatu Umum Pasal 15
(1) Presiden menyatakan di sebagian atau di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan bahaya. (2) Presiden menyatakan pencabutan keadaan bahaya.
Pasal 16
(1) Keputusan yang menyatakan atau yang mencabut keadaan bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 mulai berlaku pada hari diumumkan, kecuali ditentukan lain dalam keputusan tersebut. (2) Pengumuman pernyataan atau pencabutan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Presiden.
Pasal 17
Tingkatan keadaan bahaya terdiri atas keadaan darurat militer dan keadaan darurat perang.
Pasal 18
Pernyataan Presiden tentang keadaan bahaya, penetapan waktu mulai berlakunya, dan penetapan tingkatan keadaan bahaya dilakukan setelah Presiden mendengar dan mempertimbangkan saran dan pendapat dari Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dan Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum.
Bagian Kedua Keadaan Darurat Militer Pasal 19
Keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat milier dinyatakan apabila keamanan atau ketertiban umum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terancam karena : a. terjadi pemberontakan ; atau b. terjadi usaha-usaha untuk memisahkan sebagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 20
(1) Dalam keadaan darurat militer, Presiden memegang kekuasaan tertinggi selaku Penguasa Darurat Militer Pusat. (2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 91), Presiden dibantu oleh suatu badan yang terdiri atas Panglima dan Menteri atau pejabat lain yang terkait. (3) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh Presiden selaku Penguasa Darurat Militer Pusat.
Pasal 21
(1) Presiden selaku Penguasa Darurat Militer Pusat berwenang menggunakan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara. (2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penguasa Darurat Militer Pusat dibantu oleh Panglima. (3) Atas perintah Penguasa Darurat Militer Pusat, Panglima dengan pertimbangan nasional, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dapat : a. melakukan tindakan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 10 ayat (1) ; b. melakukan penyelidikan, pemanggilan, dan pemeriksaan ; c. melakukan penggeledahan dan penyitaan ; d. menguasai dan mengatur perlengkapan pos, telekomunikasi, dan elekronika ; e. melarang atau membatasi penyampaian pendapat di muka umum dan bentuk pertemuan lainnya ; f. melakukan tindakan di bidang ketertiban dan keamanan umum ; g. melakukan segala tindakan terhadap senjata api, amunisi, bahan peledak, dan senjata tajam ; h. melarang atau membatasi pertunjukan, pemberitaan melalui media cetak dan elektronika ; i. mewajibkan seseorang bekerja untuk kepentingan pertahanan dan keamanan ; dan j. mengatur dan membatasi atau melarang lalu lintas di darat, udara, dan di perairan.
Pasal 22
(1) Penguasa Darurat Militer di daerah adalah komandan militer daerah yang tertinggi, serendah-rendahnya Komandan Resor Militer atau yang setingkat selaku Penguasa Darurat Militer Daerah. (2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penguasa Darurat Militer Daerah dibantu oleh Gubernur, Kepala Kepolisian Daerah, dan Kepala Kejaksaan Tinggi.
Pasal 23
Presiden selaku Penguasa Darurat Militer Pusat menetapkan Penguasa Darurat Militer Daerah dan daerah hukumnya.
Pasal 24
Atas persetujuan Penguasa Darurat Militer Pusat, Penguasa Darurat Militer Daerah berhak mengeluarkan peraturan Penguasa Darurat Militer Daerah yang hanya berlaku di daerahnya dan berhak melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3).
Pasal 25
(1) Dalam hal keadaan darurat militer dicabut, semua peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer Pusat tidak berlaku lagi. (2) Kepala Pemerintahan di daerah tertentu dapat mempertahankan sebagian atau seluruh peraturan-peraturan atau tindakan-tindakan Penguasa Darurat Militer Daerah paling lama 4 (empat) bulan sesudah pencabutan keadaan darurat militer.
Bagian Ketiga Keadaan Darurat Perang Pasal 26
Keadaan bahaya dengan tingkatan darurat perang dinyatakan apabila timbul perang atau bahaya perang di sebagian atau di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengancam keamanan atau ketertiban umum, kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 27
(1) Dalam keadaan darurat perang, Presiden memegang kekuasaan tertinggi selaku Penguasa Darurat Perang Pusat. (2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari Panglima dan Menteri atau pejabat lain yang terkait. (3) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh Presiden selaku Penguasa Darurat Perang Pusat.
Pasal 28
(1) Presiden selaku Penguasa Darurat Perang Pusat berwenang menggunakan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara. (2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penguasa Darurat Perang Pusat dibantu oleh Panglima. (3) Atas perintah Penguasa Darurat Perang Pusat, Panglima dapat : a. melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) ; b. mengambil atau memerintahkan penyerahan semua barang untuk dimiliki atau dipakai guna kepentingan penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara ; c. memanggil orang untuk bekerja pada Tentara Nasional Indonesia ; d. mencegah pemogokan ; e. mengadakan peraturan atau melakukan tindakan yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila keadaan sangat mendesak dan membahayakan keselamatan dan keamanan negara.
Pasal 29
(1) Penguasa Darurat Perang di daerah adalah komandan milier daerah yang tertinggi, serendah-rendahnya Komandan Resor Milier atau yang setingkat selaku Penguasa Darurat Perang Daerah. (2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penguasa Darurat Perang Daerah dibantu oleh Guberur, Kepala Kepolisian Daerah, dan Kepala Kejaksaan Tinggi.
Pasal 30
Presiden selaku Penguasa Darurat Perang Pusat menetapkan Penguasa Darurat Perang Daerah dan daerah hukumnya.
Pasal 31
(1) Penguasa Darurat Perang Daerah berhak mengeluarkan peraturan Penguasa Darurat Perang Daerah yang hanya berlaku di daerahnya dan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (3). (2) Peraturan-peraturan yang dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Darurat Perang Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Penguasa Darurat Perang Pusat.
Pasal 32
Dalam hal keadaan darurat militer ditingkatkan menjadi keadaan darurat perang : a. semua peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan yang telah dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer Pusat tetap berlaku sebagai peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Perang Darurat Pusat ; b. semua peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan yang telah dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer Daerah tetap berlaku sebagai peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Darurat Perang Daerah.
Pasal 33
(1) Dalam hal keadaan darurat perang dicabut, maka semua peraturan-peraruan yang telah dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh Penguasa Darurat Perang dinyatakan tidak berlaku lagi. (2) Kepala Pemerintahan di daerah yang bersangkutan dapat mempertahankan sebagian atau seluruh peraturan-peraturan atau tindakan-tindakan Penguasa Darurat Perang Daerah paling lama 4 (empat) bulan sesudah pencabutan keadaan darurat perang.
Pasal 34
(1) Dalam keadaan darurat perang diturunkan menjadi keadaan darurat militer, semua peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh Penguasa Darurat Perang dinyatakan tidak berlaku lagi. (2) Penguasa Darurat Militer Daerah tertentu dapat mempertahankan sebagian atau seluruh peraturan-peraturan atau tindakan-tindakan Penguasa Darurat Perang Daerah paling lama 6 (enam) bulan sesudah keadaan darurat perang diturunkan menjadi keadaan darurat militer.
Pasal 35
Dalam hal kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya, kewenangan memeriksa dan mengadili perkara pidana dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Pasal 36
(1) Dalam hal Notaris atau pejabat umum yang berwenang membuat akta tidak dapat melaksanakan tugasnya di suatu daerah, pembuatan akta dapat dilakukan di hadapan seorang Perwira serendah-rendahnya berpangkat Mayor dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang. (2) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberi tanggal dan ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan, para saksi, dan Perwira yang bersangkutan.
BAB V KETENTUAN PIDANA DAN GANTI KERUGIAN Pasal 37
Setiap orang yang tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 38
Setiap orang yang melanggar peraturan dan Penguasa Darurat Militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25 ayat (2), Pasal 32 dan Pasal 34 ayat (2) atau Penguasa Darurat Perang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), Pasal 31 atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan, kecuali tindak pidana itu diancam dengan pidana lebih berat dalam undang-undang lain.
Pasal 39
(1) Pejabat yang menyalahgunakan wewenang yang diberikan oleh Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang telah diatur dan diancam dengan pidana yang lebih berat dalam undang-undang lain.
Pasal 40
(1) Setiap orang yang mengalami kerugian karena tindakan pejabat yang bertentangan dengan Undang-undang ini, berhak menuntut ganti kerugian. (2) Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan kepada negara.
BAB VI KETENTUAN LAIN Pasal 41
Peraturan-peraturan yang dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer atau Penguasa Darurat Perang berlaku sejak ditetapkan dan diumumkan seluas-luasnya untuk diketahui oleh masyarakat.
Pasal 42
Dalam penyelenggaraan keselamatan negara dalam keadaan bahaya Presiden dapat menyatakan mobilisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 43
Dalam menerapkan ketentuan Undang-undang ini tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum internasional dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 44
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Lembaran Negara Tahun 1959 No. 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1908) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta Pada tanggal MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN .... NOMOR ....
Diketik ulang dan didistribusikan oleh GERAKAN SARJANA JAKARTA 30 Juli 1999 Jl. Borobudur 10 Kav, GSJ JAKARTA Fax: 021-31907620 E-mail: gsj@nettaxi.com