RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ..... TAHUN ..... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA


Menimbang:
a. bahwa guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang dasar 1945, kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara harus terpelihara serta berjalan dengan aman
dan tertib;

b. bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan negara untuk tetap tegaknya
kedaulatan negara, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat timbul
berbagai ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dengan
intensitas yang tinggi, sehingga diperlukan penyelenggaraan keselamatan
dan keamanan negara dengan penindakan secara dini, cepat, tepat,
terpadu, tuntas dan aman serta profesional;

c. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang
berdasar atas hukum, oleh karena itu penyelenggaraan keselamatan negara
sebagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap
keselematan dan keamanan negara yang pada hakikatnya merupakan
perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan rakyat dan negara serta
menjadi tanggungjawab seluruh rakyat Indonesia, harus berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku dan kecenderungan hukum internasional.

d. bahwa Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara yang
tertinggi bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keamanan negara
baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan bahaya, oleh karena itu
berhak mengambil segala tindakan untuk menyelamatkan dan mengamankan
negara;

e. bahwa Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan bahaya
dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1960 tentang Permintaan dan
Pelaksanaan Bantuan Militer yang selama ini menjadi dasar hukum
penanggulangan ancaman pertahanan keamanan negara sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan hukum dan ketatanegaraan, sehingga harus
dicabut dan diganti;

f. bahwa dengan dicabutnya Undang-undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang
pemberantasan kegiatan Subversi, diperlukan pengaturan untuk mencegah
dan mengatasi kegiatan-kegiatan yang bersifat subversif secara dini,
cepat, tepat, terpadu, tuntas dan aman serta profesional;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, c, d, e, dan f perlu dibentuk Undang-undang tentang Keselamatan dan
Keamanan Negara;

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 12, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 30
Undang-undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun
1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun
1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Keselamatan negara adalah keadaan kehidupan negara yang terhindar
dari segala bentuk ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri yang membahayakan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan
bangsa, dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sehingga fungsi pemerintahan, kehidupan perekonomian dan kehidupan
sosial masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya.

2. Keamanan negara adalah keadaan kehidupan negara yang mampu menjamin
tetap tegaknya Negara Kesatuan republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang dasar 1945 terhadap segala ancaman baik dari dalam
negeri maupun dari luar negeri dan tercapainya tujuan nasional.

3. Ancaman adalah usaha yang dilaksanakan secara konsepsional melalui
kegiatan atau kejahatan politik, ekonomi, sosial, maupun budaya yang
membahayakan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, dan
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara adalah bagian dari
upaya pertahanan keamanan negara yang merupakan salah satu fungsi
pemerintahan negara yang dilakukan melalui kegiatan pencegahan dan
penanggulangan terhadap setiap ancaman baik dari dalam negeri maupun
dari luar negeri secara dini, cepat, tepat, terpadu, tuntas, dan aman
serta profesional yang ditujukan terpeliharanya kedaulatan negara,
persatuan dan kesatuan bangsa, dan terjaminnya keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

5. Panglima adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia.

6. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi yang karena jabatannya
merangkap pula sebagai Kepala Daerah Administrasi.

Pasal 2
Tujuan penyelenggaraan keselamatan keamanan negara adalah melindungi
keselamatan dan keamanan rakyat dan negara dalam kehidupan politik,
ekonomi, sosial, dan buaya terhadap ancaman dari dalam negeri dan dari
luar negeri.

Pasal 3
Hakikat keselamatan dan keamanan negara adalah tetap tegaknya
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, terpeliharanya persatuan dan
kesatuan bangsa serta terjaminnya keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Pasal 4
Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara berlandaskan pada: 

a. asas kepastian hukum ;

b. asas pengayoman ;

c. asas keterpaduan ;

d. asas proporsionalitas ;

e. asas kerterbukaan ;

f. asas profesionalitas


BAB II PENYELENGGARAAN KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA Pasal 5
Presiden mempunyai wewenang tertinggi dalam penyelenggaraan keselamatan
dan keamanan negara.
Pasal 6
Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara merupakan upaya
pencegahan dan penanggulangan setiap ancaman baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri secara dini, cepat, tepat, terpadu, tuntas,
aman, dan profesional sesiai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 7
Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara dilakukan di sebagian
atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia baik dalam
keadaan biasa maupun dalam keadaan bahaya.

BAB III PENYELENGGARAAN KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA DALAM KEADAAN BIASA Pasal 8
(1) Dalam keadaan keselamatan dan keamanan negara terancam dan
penanganan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan unsur-unsur
perkuatannya dinilai tidak memadai atau tidak segera dapat
mengatasinya, Presiden menyatakan perlunya penanganan secara khusus di
sebagian atau di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Keadaan keselamatan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaporkan oleh Gubernur kepada Presiden tentang terjadinya
kerusuhan antar suku, agama, ras, atau antar golongan atau kerusuhan
lainnya yang disertai dengan tindak kekerasan yang berakibat :

a. pelaksanaan fungsi Pemerintahan di sebagian atau di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya ; dan atau

b. kegiatan kehidupan perekonomian dan kehidupa sosial masyarakat
terganggu.

(3) Pernyataan penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dilaksanakan Presiden setelah mendengar dan memperhatikan pendapat
dari Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dan Dewan Penegakan Keamanan
dan Sistem Hukum.

(4) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
mengurangi tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 9
(1) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila
diperlukan dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 10
(1) Dalam rangka melaksanakan penanganan secara khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (10), atas perintah Presiden, Panglima dapat
menggunakan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan melakukan tindakan,
berupa :


a. pelarangan sementara seseorang memasuki atau meninggalkan suatu
wilayah tertentu ;

b. penempatan sementara seseorang di luar wilayah tempat tinggalnya ;

c. pembatasan dan atau penutupan wilayah ;

d. membatasi orang berada di luar rumah.


(2) Dalam melaksanakan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Panglima berkoordinasi dengan pimpinan instansi dan atau lembaga
pemerintah terkait.

(3) Tindakan Panglima sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) dapat
didelegasikan kepada Panglima Daerah Militer.

(4) Dalam melaksanakan tugasnya Penglima Daerah Militer dibantu oleh
Kepala Kepolisian Daerah dan Kepala Kejaksaan Tinggi.

Pasal 11
Pelarangan sementara seseorang memasuki atau meninggalkan suatu wilayah
tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) huruf a, hanya
dapat dilakukan terhadap seseorang yang menurut bukti permulaan yang
cukup, patut diduga melakukan perbuatan yang dapat mengganggu,
menghalangi, atau menghambat upaya pencegahan dan penanggulangan
terhadap ancaman yang membahayakan keselamatan dan keamanan negara.
Pasal 12
Penempatan sementara seseorang di luar wilayah tempat tinggalnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, dilakukan untuk
melindungi keselamatan dan keamanan warga dan menanggulangi ancaman
yang membahayakan keselamatan dan keamanan negara.

Pasal 13
Pembatasan dan atau penutupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) huruf c dan pembatasan orang berada di luar rumah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 91) huruf d, hanya dapat
dilakukan terhadap wilayah yang menjadi tempat kegiatan pencegahan dan
penanggulangan terhadap ancaman yang membahayakan keselamatan dan
keamanan negara.

Pasal 14
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB IV PENYELENGGARAAN KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA DALAM KEADAAN BAHAYA Bagian Kesatu Umum Pasal 15
(1) Presiden menyatakan di sebagian atau di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan bahaya.

(2) Presiden menyatakan pencabutan keadaan bahaya.

Pasal 16
(1) Keputusan yang menyatakan atau yang mencabut keadaan bahaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 mulai berlaku pada hari diumumkan,
kecuali ditentukan lain dalam keputusan tersebut.

(2) Pengumuman pernyataan atau pencabutan keadaan bahaya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Presiden.

Pasal 17
Tingkatan keadaan bahaya terdiri atas keadaan darurat militer dan
keadaan darurat perang.

Pasal 18
Pernyataan Presiden tentang keadaan bahaya, penetapan waktu mulai
berlakunya, dan penetapan tingkatan keadaan bahaya dilakukan setelah
Presiden mendengar dan mempertimbangkan saran dan pendapat dari Dewan
Pertahanan Keamanan Nasional dan Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem
Hukum.

Bagian Kedua Keadaan Darurat Militer Pasal 19
Keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat milier dinyatakan
apabila keamanan atau ketertiban umum di seluruh wilayah atau di
sebagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terancam karena :

a. terjadi pemberontakan ; atau

b. terjadi usaha-usaha untuk memisahkan sebagian wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 20
(1) Dalam keadaan darurat militer, Presiden memegang kekuasaan
tertinggi selaku Penguasa Darurat Militer Pusat.

(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 91),
Presiden dibantu oleh suatu badan yang terdiri atas Panglima dan
Menteri atau pejabat lain yang terkait.

(3) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh Presiden
selaku Penguasa Darurat Militer Pusat.

Pasal 21
(1) Presiden selaku Penguasa Darurat Militer Pusat berwenang
menggunakan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara.

(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Penguasa Darurat Militer Pusat dibantu oleh Panglima.

(3) Atas perintah Penguasa Darurat Militer Pusat, Panglima dengan
pertimbangan nasional, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dapat :


a. melakukan tindakan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 10 ayat (1) ;

b. melakukan penyelidikan, pemanggilan, dan pemeriksaan ;

c. melakukan penggeledahan dan penyitaan ;

d. menguasai dan mengatur perlengkapan pos, telekomunikasi, dan
elekronika ;

e. melarang atau membatasi penyampaian pendapat di muka umum dan bentuk
pertemuan lainnya ;

f. melakukan tindakan di bidang ketertiban dan keamanan umum ;

g. melakukan segala tindakan terhadap senjata api, amunisi, bahan
peledak, dan senjata tajam ;

h. melarang atau membatasi pertunjukan, pemberitaan melalui media cetak
dan elektronika ;

i. mewajibkan seseorang bekerja untuk kepentingan pertahanan dan
keamanan ; dan

j. mengatur dan membatasi atau melarang lalu lintas di darat, udara,
dan di perairan.

Pasal 22
(1) Penguasa Darurat Militer di daerah adalah komandan militer daerah
yang tertinggi, serendah-rendahnya Komandan Resor Militer atau yang
setingkat selaku Penguasa Darurat Militer Daerah.

(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Penguasa Darurat Militer Daerah dibantu oleh Gubernur, Kepala
Kepolisian Daerah, dan Kepala Kejaksaan Tinggi.

Pasal 23
Presiden selaku Penguasa Darurat Militer Pusat menetapkan Penguasa
Darurat Militer Daerah dan daerah hukumnya.

Pasal 24
Atas persetujuan Penguasa Darurat Militer Pusat, Penguasa Darurat
Militer Daerah berhak mengeluarkan peraturan Penguasa Darurat Militer
Daerah yang hanya berlaku di daerahnya dan berhak melakukan
tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3).

Pasal 25
(1) Dalam hal keadaan darurat militer dicabut, semua
peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang
telah dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer Pusat tidak berlaku lagi.

(2) Kepala Pemerintahan di daerah tertentu dapat mempertahankan
sebagian atau seluruh peraturan-peraturan atau tindakan-tindakan
Penguasa Darurat Militer Daerah paling lama 4 (empat) bulan sesudah
pencabutan keadaan darurat militer.

Bagian Ketiga Keadaan Darurat Perang Pasal 26
Keadaan bahaya dengan tingkatan darurat perang dinyatakan apabila
timbul perang atau bahaya perang di sebagian atau di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengancam keamanan atau
ketertiban umum, kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa,
serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 27
(1) Dalam keadaan darurat perang, Presiden memegang kekuasaan tertinggi
selaku Penguasa Darurat Perang Pusat.

(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Presiden dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari Panglima dan
Menteri atau pejabat lain yang terkait.

(3) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh Presiden
selaku Penguasa Darurat Perang Pusat.

Pasal 28
(1) Presiden selaku Penguasa Darurat Perang Pusat berwenang menggunakan
segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara.

(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Penguasa Darurat Perang Pusat dibantu oleh Panglima.

(3) Atas perintah Penguasa Darurat Perang Pusat, Panglima dapat :

a. melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(3) ;

b. mengambil atau memerintahkan penyerahan semua barang untuk dimiliki
atau dipakai guna kepentingan penyelenggaraan keselamatan dan keamanan
negara ;

c. memanggil orang untuk bekerja pada Tentara Nasional Indonesia ;

d. mencegah pemogokan ;

e. mengadakan peraturan atau melakukan tindakan yang menyimpang dari
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila keadaan
sangat mendesak dan membahayakan keselamatan dan keamanan negara.

Pasal 29
(1) Penguasa Darurat Perang di daerah adalah komandan milier daerah
yang tertinggi, serendah-rendahnya Komandan Resor Milier atau yang
setingkat selaku Penguasa Darurat Perang Daerah.

(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Penguasa Darurat Perang Daerah dibantu oleh Guberur, Kepala Kepolisian
Daerah, dan Kepala Kejaksaan Tinggi. 

Pasal 30
Presiden selaku Penguasa Darurat Perang Pusat menetapkan Penguasa
Darurat Perang Daerah dan daerah hukumnya.

Pasal 31
(1) Penguasa Darurat Perang Daerah berhak mengeluarkan peraturan
Penguasa Darurat Perang Daerah yang hanya berlaku di daerahnya dan
melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (3).

(2) Peraturan-peraturan yang dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh Penguasa Darurat Perang Daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Penguasa Darurat Perang Pusat.

Pasal 32
Dalam hal keadaan darurat militer ditingkatkan menjadi keadaan darurat
perang :

a. semua peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan yang telah
dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer Pusat tetap berlaku sebagai
peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh
Penguasa Perang Darurat Pusat ;

b. semua peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan yang telah
dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer Daerah tetap berlaku sebagai
peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh
Penguasa Darurat Perang Daerah.

Pasal 33
(1) Dalam hal keadaan darurat perang dicabut, maka semua
peraturan-peraruan yang telah dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang
telah dilakukan oleh Penguasa Darurat Perang dinyatakan tidak berlaku
lagi.

(2) Kepala Pemerintahan di daerah yang bersangkutan dapat
mempertahankan sebagian atau seluruh peraturan-peraturan atau
tindakan-tindakan Penguasa Darurat Perang Daerah paling lama 4 (empat)
bulan sesudah pencabutan keadaan darurat perang.

Pasal 34
(1) Dalam keadaan darurat perang diturunkan menjadi keadaan darurat
militer, semua peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan dan
tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh Penguasa Darurat Perang
dinyatakan tidak berlaku lagi.

(2) Penguasa Darurat Militer Daerah tertentu dapat mempertahankan
sebagian atau seluruh peraturan-peraturan atau tindakan-tindakan
Penguasa Darurat Perang Daerah paling lama 6 (enam) bulan sesudah
keadaan darurat perang diturunkan menjadi keadaan darurat militer.

Pasal 35
Dalam hal kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya,
kewenangan memeriksa dan mengadili perkara pidana dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

Pasal 36
(1) Dalam hal Notaris atau pejabat umum yang berwenang membuat akta
tidak dapat melaksanakan tugasnya di suatu daerah, pembuatan akta dapat
dilakukan di hadapan seorang Perwira serendah-rendahnya berpangkat
Mayor dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang.

(2) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberi tanggal
dan ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan, para saksi, dan
Perwira yang bersangkutan.

BAB V KETENTUAN PIDANA DAN GANTI KERUGIAN Pasal 37
Setiap orang yang tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
bulan.
Pasal 38
Setiap orang yang melanggar peraturan dan Penguasa Darurat Militer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25 ayat
(2), Pasal 32 dan Pasal 34 ayat (2) atau Penguasa Darurat Perang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), Pasal 31 atau Pasal 33
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan,
kecuali tindak pidana itu diancam dengan pidana lebih berat dalam
undang-undang lain.
Pasal 39
(1) Pejabat yang menyalahgunakan wewenang yang diberikan oleh
Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila
perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang telah diatur dan
diancam dengan pidana yang lebih berat dalam undang-undang lain.
Pasal 40
(1) Setiap orang yang mengalami kerugian karena tindakan pejabat yang
bertentangan dengan Undang-undang ini, berhak menuntut ganti kerugian.

(2) Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan
kepada negara.


BAB VI KETENTUAN LAIN Pasal 41
Peraturan-peraturan yang dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer atau Penguasa Darurat Perang
berlaku sejak ditetapkan dan diumumkan seluas-luasnya untuk diketahui
oleh masyarakat.

Pasal 42
Dalam penyelenggaraan keselamatan negara dalam keadaan bahaya Presiden
dapat menyatakan mobilisasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 43
Dalam menerapkan ketentuan Undang-undang ini tetap memperhatikan
prinsip-prinsip hukum internasional dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia.

BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 44
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 23 Prp
Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Lembaran Negara Tahun 1959 No. 139,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1908) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.


Disahkan di Jakarta
Pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA


AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN .... NOMOR ....


Diketik ulang dan didistribusikan oleh 
GERAKAN SARJANA JAKARTA
30 Juli 1999

Jl. Borobudur 10 Kav, GSJ
JAKARTA
Fax: 021-31907620
E-mail: gsj@nettaxi.com

Subscribe to Reformasitotal-Online Forum by GSJ

 Masukkan e-mail anda: