Subscribe to Reformasitotal-Online Forum by GSJ

 Masukkan e-mail anda:

PEMBAHASAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA

 

A. PEMBAHASAN UMUM

1. RUU Ini Tidak Sesuai UUD 1945
UUD 1945 Pasal 12 kalimat kedua menyatakan "Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditentukan dengan Undang-undang". Jadi UUD 1945 mengamanatkan pembentukan UU untuk mengatur syarat-syarat keadaan bahaya dan konsekuensinya agar Presiden memiliki pedoman yang tepat dalam menyatakan bahwa negara berada dalam keadaan bahaya. UUD 1945 tidak mengamanatkan pembentukan UU yang mengatur penyerahan negara kepada militer atau memberi kekuasaan sangat besar kepada militer atas pemerintahan sipil dan sistem hukum yang berlaku dalam keadaan apapun.

Jadi yang perlu direvisi atau disempurnakan adalah UU No. 1 tahun 1988 tentang Perubahan atas UU No. 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI (Lembaran Negara Tahun 1988 No. 3, Tambahan Lembaran Negara No. 3368).

2. Visi yang Sempit
RUU ini berjudul "Keselamatan dan Kemanan Negara", mengandung dua kata kunci, yaitu keselamatan negara dan keamanan negara.
Kedua kata kunci ini tidak sebanding karena keamanan negara hanyalah salah satu faktor yang menentukan keselamatan negara.
Adapun keselamatan negara ditentukan oleh faktor ganda, yaitu politik, ekonomi, sosial, budaya, iptek, dan hankam. Jadi keselamatan negara tidak hanya ditentukan oleh faktor keamanan fisik saja, melainkan oleh berbagai faktor lainnya. Masalah ekonomi, misalnya. Krisis ekonomi 1997 membuktikan bahwa keselamatan negara terancam secara ekonomi di mana kekuatan militer tidak dapat berperan menyelamatkan negara dari serangan ekonomi tersebut. Demikian juga ancaman di bidang politik, sosial budaya, dan iptek yang tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan militer (angkatan bersenjata).
Fakta ini membuktikan visi yang sempit dalam pembentukan RUU ini.

 

3. Distorsi Kepentingan Militer – Tujuan Utama RUU Tidak Jelas
Jika RUU ini dimaksudkan untuk memberi kewenangan pada pihak militer untuk mempertahankan negara, judul yang lebih tepat adalah RUU "Pertahanan dan Keamanan Negara" sebagaimana yang telah ada, yaitu UU No. 1 tahun 1988 yang mengatur Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI. Namun ternyata dalam RUU ini kata "pertahanan" diganti menjadi "keselamatan" untuk memperhalus dan menyembunyikan maksud RUU sebenarnya. Dan ternyata penggunaan kata "keselamatan negara" justru tidak tepat karena maknanya meluas mengingat keselamatan negara ditentukan oleh faktor-faktor non militer lainnya.
Adapun RUU ini isinya hanya mengatur tentang pemberian wewenang yang lebih besar pada pihak militer untuk berkuasa dan tidak mengatur syarat-syarat keadaan bahaya dan prosedur keselamatan negara dari ancaman krisis ekonomi, politik, sosial budaya, dan iptek.
Selain itu, mengingat pertahanan negara merupakan hak dan kewajiban warga negara, maka semestinya dalam UU yang mengatur "Pertahanan dan Keamanan Negara" diatur juga peran warga negara sipil dalam bekerja sama dengan pihak militer untuk mempertahankan negara, bukan militer berkuasa atas seluruh rakyat sipil.
RUU ini benar-benar memiliki tujuan yang tendensius untuk memberikan kekuasaan dan wewenang yang berlebihan terhadap militer.

4. TNI Versus Kepolisian
Sekalipun diganti menjadi RUU "Pertahanan dan Keamanan Negara", hal ini tetap perlu dikaji lebih mendalam mengingat "pertahanan negara" dari ancaman pihak asing adalah tugas TNI sedangkan "keamanan" dalam negeri adalah tugas polisi. Mengingat secara yuridis formal TNI dan Polri telah dipisahkan, maka UU yang mengatur TNI selaku militer dan Polri harus dipisahkan sebagai UU Militer dan UU Kepolisian.
Jika diperlukan UU yang mengatur keadaaan darurat perang, maka itu dapat diatur dalam UU Militer atau UU Keadaan Bahaya Negara sesuai amanat UUD 1945. RUU ini sangat tendensius menggantikan fungsi keamanan domestik oleh polisi.

5. RUU Beresiko Tinggi
RUU ini beresiko tinggi melahirkan rejim militer di Indonesia karena tujuannya adalah memberi kekuasaan yang sangat besar pada militer untuk berkuasa di atas hukum apapun setelah perseorangan Presiden dengan pengaruh Pejabat Militer dengan mudahnya dapat mengesahkan keadaan darurat.
RUU ini memberi peluang pada militer untuk berkuasa total dengan menggantikan fungsi keamanan domestik yang merupakan tugas Polri dan fungsi administratif pemerintahan sipil baik pusat maupun daerah. Bahkan RUU ini memberikan peluang pada militer untuk memberlakukan hukumnya sendiri di atas hukum yang berlaku dan mengambil alih pengadilan tindak pidana sipil oleh peradilan militer.
Jika RUU ini disahkan dan diberlakukan, maka kekuasaan militer akan beresiko jatuhnya banyak korban tak bersalah, tidak ada penegakan hukum dan demokrasi, dan akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat karena merasa kebebasannya direnggut penguasa militer.
Dengan demikian jelaslah bahwa RUU "Militerisme" bukannya menjamin keselamatan dan keamanan negara, namun justru berpotensi menimbulkan perang saudara yang mengancam keutuhan wilayah negara dan persatuan bangsa.

B. PEMBAHASAN PER PASAL

6. Masalah Subversif

Dengan demikian delik subversif yang telah dicabut dimaksudkan untuk diberlakukan kembali. Sebuah langkah mundur setelah tuntutan reformasitotal bergulir.

 

7. Definisi Keselamatan Negara dan Ancamannya

Sampai di sini RUU ini telah mengakui bahwa faktor keselamatan negara dipengaruhi oleh faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun hal ini tidak sinkron dan tidak seimbang dengan isi RUU selebihnya yang menyerahkan penyelesaian keselamatan negara multi dimensi tersebut kepada militer seluruhnya. Dalam hal ini definisi "ancaman" seperti tersebut di atas dalam pelaksanaannya akan ditafsirkan sepihak oleh pihak militer yang hanya menguasai satu aspek profesional, yaitu hankam.

Anehnya, "kejahatan hankam" tidak dimasukkan dalam definisi "ancaman" di atas. Jadi rencana-rencana terkonsep gangguan keamanan negara secara fisik justru "lupa" dianggap sebagai ancaman yang membahayakan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan RI. Padahal bidang inilah yang menjadi profesionalisme TNI dan Polri. Apakah ini karena grogi mengingat indikasi keterlibatan oknum-oknum militer dalam rekayasa "gangguan keamanan" di berbagai wilayah Indonesia?

 

8. Wewenang Tertinggi Bukan Pada Presiden

Dalam mengambil keputusan untuk menyelenggarakan keselamatan dan keamanan negara, Presiden hendaknya meminta persetujuan DPR atau MPR sebagai lembaga yang merepresentasikan aspirasi rakyat Indonesia.

 

9. Mengesampingkan Kepolisian

Pernyataan ayat 1 benar-benar mengesampingkan tugas kepolisian dengan menilai penanganannya tidak memadai dan tidak segera dapat mengatasi. Pernyataan ayat 4 berusaha melembutkan maksud ayat 1 namun secara substansif Pasal 8 ini bermaksud memberikan jalan bagi militer untuk menggantikan peran kepolisian. Hal ini ditegaskan pada pasal 10 di atas.

 

10. Mengesampingkan DPR dan Cacat Hukum

Penjelasan RUU Bab III Pasal 8 Ayat 3 ini tidak sinkron dengan ayat yang dijelaskan karena dalam Bab III Pasal 8 Ayat 3 tidak ada kata-kata "Lembaga Pemerintah Non Departemen yang Terkait" yang harus dijelaskan seperti itu.
Yang selayaknya dirinci adalah unsur-unsur Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional serta Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum yang justru tidak dijelaskan dalam Penjelasan RUU tersebut.

Dewan-dewanan seperti ini membuktikan bahwa tata negara Indonesia tidak efisien. Lembaga Kepresidenan sudah dibantu Menteri-menteri Kabinet dan pejabat Non Departemen setingkat menteri yang seharusnya dapat menjalankan tugas masing-masing secara profesional. Tugas hankam sudah dijabat Menhankam dan Panglima TNI. Penegakan hukum sudah dijalankan oleh Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri.
Jika semua menjalankan tugas dengan baik dan benar, Presiden dapat "mendengar dan memperhatikan pendapat" pejabat-pejabat terkait yang biasa saja, tanpa Dewan-dewanan. Jika perlu Dewan-dewanan, Presiden hanya perlu menghadap dan minta persetujuan DPR.

 

11. Diskriminasi Profesi - Memusuhi Buruh, Tani, dan Nelayan

Bab III Pasal 8 Ayat 2
Keadaan keselamatan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan oleh Gubernur kepada Presiden tentang terjadinya kerusuhan antar suku, agama, ras, atau antar golongan atau kerusuhan lainnya yang disertai dengan tindak kekerasan yang berakibat:

  1. pelaksanaan fungsi Pemerintahan di sebagian atau di seluruh wilayah Negara Kesatuan RI tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya; dan atau
  2. kegiatan kehidupan perekonomian dan kehidupan sosialo masyarakat terganggu.



  

Penjelasan RUU Bab III Pasal 8 Ayat 2
Yang dimaksud dengan "kerusuhan lainnya" antara lain kerusuhan yang disebabkan oleh tindak kekerasan dari buruh, petani, dan nelayan.

RUU ini sangat diskriminatif, bukan hanya menyangkut SARA, namun juga diskriminatif terhadap profesi. Dengan menyebutkan "buruh, petani, dan nelayan" secara khusus, RUU ini memiliki sudut pandang bahwa buruh, petani, dan nelayan perlu diberi stigma sebagai pelaku kerusuhan dengan tindak kekerasan yang berakibat fatal seperti di atas. Sebuah sudut pandang yang sangat militeristik.

Sudut pandang militeristik yang diskriminatif tersebut menutup mata terhadap kejahatan ekonomi dan politik yang dilakukan oleh oknum pengusaha, birokrat, dan militer yang menyebabkan ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat, termasuk "buruh, petani, dan nelayan" sebagai korban.

 

12. Mengulur-ulur Waktu "Penggantian Polisi oleh TNI"

Tiga bulan plus tiga bulan sama dengan enam bulan.

Jadi TNI menghendaki menggantikan tugas polisi selama enam bulan berturut-turut. Dengan kejadian di Aceh dan daerah-daerah lain selama ini, di mana dalam waktu singkat tentara membunuhi sekian banyak rakyat secara brutal, berapa banyak korban rakyat tidak bersalah yang akan jatuh dalam waktu enam bulan berturut-turut?

 

13. Melanggar Hak Asasi Manusia – Part 1

Bab III Pasal 10
Dalam rangka melaksanakan penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), atas perintah Presiden, Panglima dapat menggunakan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan melakukan tindakan, berupa:

  1. pelarangan sementara seseorang memasuki atau meninggalkan suatu wilayah tertentu; ==> tahanan kota
  2. penempatan sementara seseorang di luar wilayah tempat tinggalnya;
    ==> pengasingan
  3. pembatasan dan atau penutupan wilayah; ==> blokade
  4. membatasi orang berada di luar rumah. ==> tahanan rumah

Pasal-pasal terkait: Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13

Pasal ini memperkenankan TNI melanggar HAM dengan memberlakukan tahanan kota, pengasingan, blokade, dan tahanan rumah, tanpa disebutkan harus melalui prosedur hukum. Ini lebih keji daripada Belanda yang melakukan hukuman pengasingan dan lain-lain melalui pengadilan kolonial.

 

14. Melecehkan Penegakan Hukum

Pasal ini menegaskan pemberian sanksi tanpa melalui proses pengadilan dan hanya mengandalkan bukti sepihak menurut militer. Padahal penegakan hukum meliputi pengumpulan bukti-bukti, proses penyelidikan, dan penyidikan harus dilakukan oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan, bukan militer. Dan jika penyidikan cukup harus melalui proses pengadilan. Karena itu, pasal yang memberikan sanksi berdasarkan bukti saja sangat bertentangan dengan prinsip keadilan hukum manapun.

 

15. Amanat UUD 1945 Belum Dipenuhi

Bab IV Pasal 15 Ayat 1
Presiden menyatakan di sebagian atau di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan bahaya.

Ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 12. Namun amanat UUD 1945 itu untuk merinci syarat-syarat dan konsekuensi keadaan bahaya dalam suatu UU belum dipenuhi. Baik itu bahaya berupa ancaman serangan militer dari luar, ancaman pemberontakan bersenjata, bahaya bencana alam, bahaya krisis ekonomi, politik, dan segala macam potensi ancaman yang membahayakan keselamatan negara harus dirinci dengan jelas, baik definisinya sampai penanganannya.

Alasannya, karena semua saling terkait. Jika terjadi bencana alam di sebagian besar wilayah Indonesia secara bersamaan, baik itu banjir, gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan bahkan kebakaran hutan karena ulah manusia; semuanya menyebabkan potensi krisis ekonomi, potensi konflik fisik, dan potensi intervensi asing yang mengancam kedaulatan negara Indonesia. Karena itu, menyangkut "keselamatan negara", semua hal ini harus dipikirkan secara holistik/ menyeluruh dan terpadu.

 

16. Melanggar Hak Asasi Manusia – Part 2

Bab IV Pasal 21 ayat 3

Atas perintah Penguasa Darurat Militer Pusat, Panglima dengan pertimbangan nasional, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dapat:

  1. melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1);
  2. melakukan penyelidikan, pemanggilan, dan pemeriksaan; ==> tugas kepolisian
  3. melakukan penggeledahan dan penyitaan; ==> tugas kepolisian
  4. menguasai dan mengatur perlengkapan pos, telekomunikasi, dan elektronika
  5. melarang atau membatasi penyampaian pendapat di muka umum dan bentuk pertemuan lainnya; ==> melanggar UUD 1945 pasal 28
  6. melakukan tindakan di bidang ketertiban dan keamanan umum;
    ==> tugas kepolisian
  7. melakukan segala tindakan terhadap senjata api, amunisi, bahan peledak, dan senjata tajam;
  8. melarang atau membatasi pertunjukan, pemberitaan melalui media cetak dan elektronika; ==> melanggar UUD 1945 pasal 28
  9. mewajibkan seseorang bekerja untuk kepentingan pertahanan keamanan; dan
  10. mengatur dan membatasi atau melarang lalu lintas di darat, di udara, dan di perairan. ==> melarang bepergian


17. Rejim Militer Total – Part 1: Propinsi Militer

Bab IV Pasal 20
(1) Dalam keadaan darurat militer, Presiden memegang kekuasaan tertinggi selaku Penguasa Darurat Militer Pusat.
(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden dibantu oleh suatu badan yang terdiri atas Panglima dan Menteri atau pejabat lain yang terkait.
(3) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh Presiden selaku Penguasa Darurat Militer Pusat.

Bab IV Pasal 22

  1. Penguasa Darurat Militer di daerah adalah komandan militer daeah yang tertinggi, serendah-rendahnya Komandan Resor Militer atau yang setingkat selaku Penguasa Darurat Militer Daerah.
  2. Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penguasa Darurat Militer Daerah dibantu oleh Gubernur, Kepala Kepolisian Daerah, dan Kepala Kejaksaan Tinggi.

Bab IV Pasal 22
Presiden selaku Penguasa Darurat Militer Pusat menetapkan Penguasa Darurat Militer Daerah dan daerah hukumnya.

Penjelasan Bab IV Pasal 22
Dalam menetapkan daerah hukum Penguasa Darurat Militer Daerah, Presiden tidak terikat dengan daerah administrasi pemerintahan.

Pasal serupa tentang Penguasa Darurat Perang adalah Pasal 29 dan 30.

Ini merupakan indikasi pemecah-belahan wilayah Indonesia menjadi propinsi-propinsi/ distrik-distrik militer di mana militer lebih berkuasa daripada administrasi pemerintahan daerah yang merupakan pemerintahan sipil. Ini mengingat pemerintahan militer diberi otoritas sangat besar bahkan pejabat resmi pemda, yaitu Gubernur, Kapolda, dan Kajati hanya diberi posisi sebagai "pembantu" pemerintahan rejim militer ini.

Ini merupakan reaksi dari tuntutan penghapusan dwifungsi TNI yang konsekuensinya seorang anggota TNI harus melepaskan keanggotaannya dari TNI jika akan memegang jabatan di pemerintahan sipil. Dengan cara di atas, militer tetap akan terus berkuasa di atas rakyat sipil secara absolut.

 

18. Rejim Militer Total – Part 2: Hukum Militer Totaliter Anti Keadilan

Bab IV Pasal 28 ayat 3
Atas perintah Penguasa Darurat Perang Pusat, Panglima dapat:

  1. melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3);
  2. mengambil atau memerintahkan penyerahan semua barang untuk dimiliki atau dipakai guna kepentingan penyelenggaraan keselamatan dan keamanan negara;
  3. memanggil orang untuk bekerja pada Tentara Nasional Indonesia;
  4. mencegah pemogokan;
  5. mengadakan pengaturan atau melakukan tindakan yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila keadaan sangat mendesak dan membahayakan keselamatan dan keamanan negara.

Ayat 3 huruf (b) dan (e) di atas bertentangan dengan Pasal 4 huruf (a) tentang asas kepastian hukum.

Pasal 31
Penguasa Darurat Perang Daerah berhak mengeluarkan peraturan Penguasa Darurat Perang Daerah yang hanya berlaku di daerahnya dan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3).

Pasal 35
Dalam hal kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya, kewenangan memeriksa dan mengadili perkara pidana dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

Setelah menempatkan posisi Gubernur, Kepolisian, dan Kejaksaan Tinggi dalam posisi yang lebih rendah sebagai "pembantu", pasal ini justru terang-terangan bermaksud mengambil alih tugas pengadilan negeri dalam menjalankan tugas penegakan hukum berdasarkan prinsip keadilan. Ini bertentangan dengan UU yang sudah ada, yaitu UU No. 5/1950 tentang Peradilan Militer, UU No. 2 tentang Peradilan Umum, UU No. 5/1986 tentang PTUN, dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 14/1985 tentang Susduk MA, dan Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang wewenang MA.

Kiranya pasal ini tidak mengisyaratkan bahwa Peradilan Militer akan mengambil alih fungsi kehakiman tertinggi yang dipegang oleh Mahkamah Agung, apalagi untuk tindak pidana sipil

 

19. Perampasan Hak Milik oleh Militer

Pasal 36

  1. Dalam hal Notaris atau pejabat umum yang berwenang membuat akta tidak dapat melaksanakan tugasnya di suatu daerah, pembuatan akta dapat dilakukan di hadapan seorang Perwira serendah-rendahnya berpangkat Mayor dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang.
  2. Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberi tanggal dan ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan, para saksi, dan Perwira yang bersangkutan.

Pasal ini memiliki resiko tinggi akan tindakan perampasan hak milik sewenang-wenang oleh pihak militer untuk kepentingan oknum militer sendiri.
Jika pada Bab IV Pasal 28 ayat 3 poin (2) militer diberi wewenang untuk merampas hak milik dengan alasan yang bisa dibuat-buat tanpa proses pengadilan apapun, maka hasil rampasan itu dapat diganti hak kepemilikannya dengan sewenang-wenang dengan pengesahan Pejabat Pengganti Notaris yang notabene dijabat oleh anggota militer juga.
Pada kondisi ini militer memiliki kekuasaan mutlak karena tidak ada hukum apapun lagi yang berlaku atas segala tindakan dan "kebijakan" penguasa militer dan tidak ada hukum lagi yang melindungi hak-hak warga negara khususnya rakyat sipil.

 

20. Tidak Sinkron

Pasal 43
Dalam menerapkan ketentuan Undang-undang ini tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum internasional dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Ini bertentangan secara langsung dengan Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 21 ayat 3 RUU Keselematan dan Keamanan Negara yang jelas-jelas melanggar HAM, baik yang dinyatakan dalam Deklarasi HAM Sedunia, UUD 1945, maupun termasuk Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM.